Artikel

Khusyu’

“Sungguh, shalat itu berat, kecuali bagi mereka yang khusyu’ …” Demikian penegasan Tuhan dalam Kitab Suci, Baqarah:45. Orang yang menempatkan ibadah sebagai beban (takjlif) tentu merasakan amal-amal yang diperintahkan Tuhan berat, membosankan, bahkan menyiksa. Sebaliknya para pecinta Tuhan rindu untuk selalu bertemu dengan Penciptanya. Setiap perintah-Nya diyakininya sebagai petunjuk jalan yang bisa ditempuh untuk mencapai kedekatan, bahkan pertemuan dengan-Nya. Dan setiap larangan adalah jalan untuk beranjak menjauh dari haribaan-Nya.

Kenapa orang khusyu’ tidak merasakan berat beribadah dan beramal shalih? Karena, menurut petunjuk Kitab Suci, khusyu’ berarti “yakin sedang berjumpa Tuhan dan yakin akan segera tiba pertemuan agung dengan-Nya.”

Dalam jiwa Sang Khasyi’ (orang yang khusyu’) setiap kebajikan berarti pertemuan dan, sebaliknya, setiap keburukan adalah perpisahan dari-Nya. Ini menjadi nilai capaian yang lebih penting, lebih hakiki, sekaligus lebih absolut, bahkan dibanding Surga atau Neraka itu sendiri. Dalam salah satu munajatnya, ‘Ali merintih, “Wahai Ilahi, Junjunganku! Andai aku dapat bersabar menanggung siksa-Mu, bagaimana aku bersabar berpisah dari-Mu? Sekiranya aku bersabar menahan panas Neraka-Mu, bagaimana aku bersabar tidak menatap kemuliaan-Mu?”

Istilah khusyu’, yang secara harafiah berarti “tunduk”, kerap disebut dalam pembicaraan tentang shalat. Dalam pembicaraan tentang haji dan ‘umrah, label yang mewakili akumulasi kebaikan atau kualitasnya adalah mabrur (harfiahnya berarti “baik”). Amal lain pada umumnya diharpkan maqbul (arti harfiahnya “diterima”). Itulah sebabnya, sehabis rangkaian ibadah puasa dan amal-amal tathawu’ dalam Ramadhan, kita saling berucap, “Taqabbalallahu minna wa minkum, semoga Allah meng-qabul (menerima) amal-amal kita.”

Secara lebih umum lagi, Nabi Suci menyebut satu kata yang menjadi perangkum semua atribut kebaikan bagi setiap amal kebajikan, yaitu ihsan (secara harfiah “bagus, anggun”). Takrifnya sejiwa dengan formulasi khusyu’ sebagaimana dalam Baqarah. “Ihsan itu, engkau beribadah seakan-akan engkau melihat (kehadiran) Allah. Jika tidak bisa, engkau yakinlah, Dia melihatmu.” (HR Bukhari)

Jangankan “dihadiri” dan dilihat Tuhan, Sang Raja Diraja Penguasa Alam Semesta, pekerjaan kita dilihat atasan kita saja, kita akan mengusahakan kualitas hasil yang prima, terbaik, bahkan kalau bisa, sempurna. Kita sungguh ingin berbuat ihsan, perbuatan yang menyenangkan Tuhan dan mempesona di mata insan, bahkan memberi manfaat bagi tumbuhan dan hewan, juga alam sekitar. Kita berdoa seperti ini …

اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ طَاعَةَ الْخَاشِعِيْنَ، وَاشْرَحْ فِيْهِ صَدْرِيْ بِاِنابَةِ الْمُخْبِتِيْنَ، بِاَمَانِكَ يَا اَمَانَ الْخَاۤئِفِيْنَ۔

“Ya Allah, anugerahi aku ketaatan orang yang takut kepada-Mu, lapangkan dadaku seperti jiwa-taubat orang yang patuh kepada-Mu. Dengan suaka-Mu, duhai Penenteram orang-orang yang takut.”

(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan