TAWAKAL: PERCAYAKAN DARI AWAL
Setidaknya ada dua ragam penggunaan kata “wakil” dalam tuturan berbahasa Indonesia, termasuk dalam diskursus ketatanegaraan. Pertama “wakil” sebagai padanan kata deputy, yang dalam kamus Webster dinarasikan sebagai “a second in command or assistant who usually takes charge when his or her superior is absent”. Artinya, wakil adalah “orang kedua” yang posisinya “subordinatif” terhadap seseorang atau pemegang suatu jabatan/posisi. Kedua, “wakil” dengan makna “orang yang dipercaya penuh mengurus urusan tertentu karena sang wakil memiliki superioritas dan otoritas lebih dalam segala aspek dibanding si empunya urusan”.
Posisi wakil presiden, wakil menteri, wakil kepala sekolah, atau wakil direktur perusahaan menunjuk pada penggunaan pertama. Mereka adalah orang yang tidak lebih unggul dibanding pihak yang diwakilinya, tetapi memenuhi kualifikasi untuk mensubstitusinya saat diperlukan. Sementara itu, para wakil rakyat yang duduk di parlemen, konggres, atau badan perwakilan adalah sosok-sosok yang superior sekaligus otoritatif dibanding sekelompok warga yang mereka wakili sekaligus mempercayakan urusan kepada mereka.
“Wakil” pada makna yang kedua itulah yang lebih tergambar dalam kalimat “Hasubunallahu wa ni’ma l-wakiil, Cukuplah Allah bagi kita, Wakil Yang Terbaik.” Soal kebutuhan, kesulitan dan aspirasi kita, juga cara-cara menyelesaikannya secara tuntas, Tuhan jauh lebih tahu ketimbang kita. Nah, hal “mempercayakan urusan atau hajat hidup kita kepada pihak lain” itulah yang disebut “tawakkal.”
Kapan tawakkal kita declare kepada sosok yang kita serahi trust kita sepenuhnya? Di akhir, di tengah urusan, atau di awalnya? “Tak ada kata terlambat untuk belajar,” adalah pernyataan yang secara umum benar, namun secara khusus bisa saja tidak berguna. Seorang mahasiswa yang baru memulai baca diktat atau catatan kuliah yang dipinjamnya setengah memaksa dari kawannya, seperempat jam sebelum ujian dimulai … sebaiknya kita sepakati bahwa itu “sangat telambat”. Tawakkal juga mengenal kata terlambat.
Tuhan merekomendasikan, “Fa idzaa ‘azamta fatawakkal ‘ala llah, saat engkau ber-‘azam (berniat bulat), serahkan urusanmu (ber-tawakkal-lah) kepada Allah.” Begitu kita punya hajat (“jangka”), lalu berniat kuat hendak menunaikan hajat itu (“njangkah”), segera tawakkal kepada Tuhan dengan cara: sampaikan aspirasi kita kepada-Nya dengan doa, tempuh usaha dengan jalan yang benar, serahkan hasil antara dan akhirnya kepada ketetapan (qadha)-Nya. Purnakan dengan sikap “legawa” dan bersyukur.
Jadi, narasi “Setelah tuntas dan purna berusaha, giliran kita bertawakkal”, adalah contoh preskripsi tawakkal yang terlambat.
Mari kita bertawakkal kepada-Nya, bahkan lebih awal lagi, yaitu sebelum kita menghadapi masalah atau dirundung hajat yang mengharuskan tawakkal. Caranya, dengan bersda seperti ini …
اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُتَوَكِّلِيْنَ عَلَيْكَ، وَاجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْفَآئِزِيْنَ لَدَيْكَ، وَاجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُقَرَّبِيْنَ اِلَيْكَ، بِاِحْسَانِكَ يَا غَايَةَ الطَّالِبِيْنَ۔
“Ya Alalh, jadikan aku orang yg bertawakkal kepada-Mu, jayakan aku dengan tangan-Mu, rengkuh aku ke haribaan-Mu. Dengan kebaikan-Mu yang penuh pesona, duhai Zenit Capaian Para Pengelana.
(Djarot Margiantoro)