Artikel

Raih Kebijaksanaan Jauhi Kebodohan

Berfikir sesaat lebih berharga dibanding beribadah satu warsa.” Kalimat ini terdengar biasa di zaman yang penuh dengn rasionalitas atau tradisi berpikir sekarang ini. Namun kita bayangkan, bahwa kalimat itu meluncur dari bibir suci Sang Nabi saw (kehormatan dan rahmat Allah kiranya selalu pada dirinya), hampir 1500 tahun lalu, dan diperdengarkan kepada orang-orang gurun yang belum lama berselang masih bergelimang dalam kejahilan, perang antar kabilah, jual beli budak, penistaan terhadap perempuan, makan bangkai, dan penyembahan kepada berhala. 

Ya, agama menjunjung tinggi rasionalitas, akal sehat. “Ad-diinu ‘aqlun, laa diina liman laa ‘aqla lah,” agama itu akal sehat, common sense, dan agama tidak berlaku atas mereka yang tidak berakal. Maka, benar, hukum tidak dikenakan kepada orang yang lupa atau tidur, kanak-kanak sampai dewasa, dan orang gila hingga dia waras. Sebabnya jelas, akal pada ketiga golongan itu tidak bekerja dengan baik.

Tetapi akal bukan wahyu, meskipun hasil aktivitas akal dan fikir mengandung kebenaran dan kebaikan. Sementara itu, kebenaran wahyu bersifat absolut. Akal dan segala produknya per se tidak bisa mensubstusi wahyu Tuhan dan hukum atau rule of conduct yang menjadi turunannya. Dan memang, Tuhan memberi kita kebeningan akal serta ketajaman pikir bukan untuk ditandingkan dengan wahyu. Ungkapan lainnya, “Wahyu jangan sampai ditabrak atau dilawan dengan ra-yu.” Bukan untuk “ditandingkan”, tetapi “disandingkan”. Paling ideal, akal digunakan untuk memahami dan mengelaborasi wahyu, serta men-strategize implementasi wahyu dalam kehidupan. Walhasil, karya-karya manusia apakah yang bersifat keperadaban, kultural, sosiologis, antropologis, maupun politis, sepanjang tidak didisain untuk “menandingi” wahyu Tuhan … itulah karya yang “bersanding” dengan wahyu. Dalam tuturan Ali bin Abi Thalib, saat bicara soal taqwa atau piety, kerja dan amal peradaban harus bermagmakan wahyu Tuhan. “Al-‘amalu bi t-tanzil,” demikian kata suami Fathimah, puteri Nabi ini.

Kita pernah baca percik pemikiran Descartes, “Cogito ergo sum,” berpikir untuk bereksistensi, atau “Aku berpikir, maka aku ada.” Tapi Pascal berkeberatan, dan mencoba me-replace-nya dengan “Credo ergo sum,” bahwa eksitensi manusa ditopang oleh keyakinan kepada kredo agama, atau iman kepada Tuhan dan yang dititahkan oleh Tuhan. Dua kialimat dari dua filsuf kaliber dunia ini menjadi bermasalah jika dikonflikkan, dan dimuarakan pada dua pilihan to be or not to be, “Mau pilih akal, atau pilih iman?” Dikhotomi ini jadi tidak sehat, dan akan berimplikasi pada perseteruan tanpa ujung antara kaum rasionalis melawan kaum agamis. Albert Einstein, Sang Jenius Abad XX agaknya tidak sepakat dengan dikhotomi itu. Ia bilang, “Ilmu tanpa agama itu buta, dan agama tanpa ilmu itu lumpuh.”

Capaian tertinggi aktivitas menggunakan akal dengan benar adalah kebijaksanaan. Jadi, di hari ketiga puasa Ramadhan ini, sungguh tepat jika kita berdoa …

اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنِيْ فِيْهِ الذِّهْنَ وَالتَّنْبِيْهِ، وَبَاعِدْنِيْ فِيْهِ مِنَ السَّفَاهَةِ وَالتَّمْوِيْهِ، وَاجْعَلْ لِىْ نَصِيْبًا مِنْ كُلِّ خَيْرِ تُنْزِلُ فِيْهِ، بِجُوْدِكَ يَا اَجْوَدَ الْاَجْوَدِيْنَ۔

“Ya Allah, karuniai aku hari ini kecerdasan dan kesadaran, hindarkan dariku kebodohan dan keterperdayaan, dan beri aku bagian dari tiap kebaikan yang Engkau turunkan di dalamnya … dengan kepemurahan-Mu, duhai Sang Mahadermawan.”

(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan