Artikel

Fadhilah

Fadhilah

Fadhilah itu keutamaan, keunggulan. Istilah asal bahasa Arab ini telah terserap ke dalam bahasa Jawa menjadi palilah, dengan makna baru namun masih terkait dengan makna aslinya, yaitu restu, dukungan dengan suka cita, biasanya dari orang tua, guru, atau pepundhen kita. Kita mengenal kata afdhal yang berarti lebih utama, lebih baik, atau unggul.

Dalam Kitab Suci, Tuhan menegaskan sebagian nabi di-fadhal-kan dari sebagian yang lain, yang berarti diberi keunggulan komparatif. Anak-anak Israel pernah disebut “diunggulkan di atas seluruh ras manusia,” (… innii fadh-dhaltukum ‘ala l-‘alamiin). Lelaki diperkenankan jadi pemimpin dalam persekutuan rumah tangga, memimpin isterinya dan anak-anak mereka. Alasannya, bi maa fadh-dhala llaahu ba’dhakum ‘alaa ba’dlin, karena pria diunggulkan Tuhan atas wanita, di samping bahwa lelaki diberi mandat oleh Tuhan untuk menafkahi hidup istei dan anak-anaknya.

Seseorang mempersilakan tamunya duduk, atau minum dan makan hidangannya. Ia akan berkata, “Tahafadh-dhal …” yang mengandung makna pemuliaan. Fadhilah dapat berwujud nikmat atau pemberian Tuhan berupa item-item yang kasat mata atau tangible (terindera), yang memberi seseorang atribut keunggulan dibanding inter paris-nya. Harta yang halal dan thayyib, urusan lancar, tubuh sehat, anak-anak berprestasi, promosi jabatan, kemenangan dalam kompetisi, profit usaha, keberhasilan anak buah mengukir prestasi, adalah di antara bentuk-bentuk fadhilah. Dalam pengertian ini, fadhilah dibedakan dari rahmat, yang merupakan nikmat yang tidak kasat mata, atau intangibe, yang teralisasi sebagai rasa gembira, senang dan bahagia, ketenangan jiwa, kebijaksanaan, rasa aman, iman, hidayah, lapang hati menerima kekalahan atau ketika menyikapi kekecewaan, termasuk cinta dan dicintai.

Saat seorang hamba hendak memasuki rumah ibadah, ia meminta rahmah, bukan fadhilah. Ia tahu, bahwa di rumah Tuhan itu, ia tidak akan mencari nikmat-nikmat lahiriah. Tetapi tentu ia butuh juga nikmat-nikmat yang bersifat material. Maka, ia bisa memintanya di dalam untuk mendapatkannya di luar. Itulah sebabnya saat hendak keluar darinya, ia meminta, “Allaahumma innii as-aluka min fadhlik, Aku mohon bagian dari fadhilah-Mu, wahai Tuhan.”

Apakah fadhilah hanya untuk orang yang taat, dan tidak diberikan kepada musuh-musuh Tuhan? Tuhan Maha Rahman, karunia-Nya disediakan untuk semua makhluk yang telah diciptakan-Nya. Ada raja-raja, bahkan maharaja dan raja-diraja. Tentu Tuhan yang memberi mereka kuasa. Dan sebagian mereka tidak beriman sejak awalnya. Bahkan sebagian merebut kuasa melalui tumpahan darah penguasa pendahulunya. Akibatnya, penerima fadhilah semacam itu tidak mengakui Tuhan sebagai pemberi mandat baginya, dan ia meng-exercise kewenangannya dengan sewenang-wenang, semau-maunya sendiri. Tetapi kita perhatikan Raja Agung Sulaiman. Putera Daud ini sadar betul, siapa yang memberinya kuasa yang hampir absolut dan tak tertantang oleh siapapun juga di bawah kolong langit. Ia memilih bersikap rendah hati, dan pengakuannya menjiwai seluruh governance-nya, “Haadzaa min fadli rabii, ini semua adalah fadhilah (karunia) dari Tuhanku …”

Maka, fadhilah yang ada pada Raja Sulaiman sungguh penuh barakah. Kita sungguh berhajat pada fadhilah yang semacam itu. Alangkah tepatnya kita memanjatkan doa berikut ini …

اَللّٰهُمَّ افْتَحْ لِىْ فِيْهِ اَبْوَابَ فَضْلِكَ، وَاَنْزِلْ عَلَيَّ فِيْهِ بَرَكَاتِكَ، وَوَفِّقْنِيْ فِيْهِ لِمُوْجِبَاتِ مَرْضَاتِكَ، وَاَسْكِنِّيْ فِيْهِ بُحْبُوْحَاتِ جَنَّاتِكَ، يَا مُجِيْبَ دَعْوَةِ الْمُضْطَرِّيْنَ۔

Ya Allah, bukakan bagiku pintu-pintu karunia-Mu, turunkan atasku barakah-Mu, tuntun aku mencapai ridha-Mu, bangunkan bagiku rumah yang lapang di Surga-Mu, duhai Yang Memperkenankan permohonan orang yang terdesak.

(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan