Artikel

MERAIH SUCI DAN DEKAT ILAHI

MERAIH SUCI DAN DEKAT ILAHI

“Dalam sehari, aku mohon ampun dan bertaubat kepada Allah tidak kurang dari seratus kali,” kata Nabi Akhir Zaman, Muhammad putera Abdullah, shalla llaahu ‘alaihi wa sallam. Kalimat ini menyentak kita, sebagai manusia yang sangat lekat dengan kesalahan dan dosa. Nabi saw manusia suci, terjaga dari salah atau petaka, ma’shum. Dijamin dengan kecintaan Allah kepadanya tak bakal sesat di dunia, tak mungkin tersentuh panas Neraka di Negeri Baqa. Tetapi, ia masih ber-astaga dan bertaubat lebih serius ketimbang semua kita.

Ini teladan yang baik, sekaligus tamparan berupa sindiran yang telak, atas kita. Di masa dulu, produsen pembuat pensil biasanya menyiapkan produk komplementernya, berupa karet penghapus. Sebagian pensil bahkan dijual bersama karet penghapusnya. Perancang produk itu tahu bahwa kerja pensil untuk menggores dan menulis dekat sekali dengan kesalahan. Maka begitu terjadi kesalahan, sudah tersedia korektor bagi kesalahan itu. Allah Mahatahu, titah-Nya manusia tidak mungkin steril dari kesalahan. Jadi, Dia sediakan peluang istighfar dan taubat, agar terjadi perbaikan dalam kinerja amal hamba-hamba-Nya.

Tetapi Nabi Suci selalu lebih baik dari siapapun. Sense of crisis-nya selalu bekerja lebih cepat dari umatnya. Seperti saudagar dan kaum jauhari yang berlimpah laba berniaga selalu waspada terhadap kemungkinan tuna, bahkan kebangkrutan, Nabi yang selalu dalam kesucian dan kedekatan selalu berfikir tentang taubat dan waspada kalau Tuhannya sampai meninggalkannya. Itulah sebabnya, wajah Tuhan tidak pernah berpaling dari Insan Kamil atau manusia paripurna ini. Perhatian dan keberpihakan Allah tidak pernah beringsut darinya. Saat Sang Utusan ini sedikit resah lantaran beberapa waktu berselang, wahyu dari langit tak kunjung diterimanya, dan ia nyaris mengira, Tuhan enggan lagi menyapanya, segera ia dengar sapaan yang teramat indah, “Tidaklah Tuhanmu berpaling darimu, tiada juga berkurang kasih-Nya atasmu.” (adh-Dhuha:3)

Seperti ahli-ahli surga yang berpendar cahaya, pun masih meminta, bahkan di dalam surga termpat mereka diperlakukan bak raja-raja, “Tuhan, sempurnakan cahaya kami …” (at-Tahrim:8), Nabi saw meminta untuk dapat terus beristighfar guna memperbaiki dirinya dari kekurangan atau salah tindak betapapun reniknya, dan memohon agar Tuhan tidak berpaling sekejap pun darinya. Ia tahu, tiap Nabi sebelumnya pernah sebentar “kehilangan” kedekatan dari Allah, sehingga Musa pernah terpojok di hadapan ketinggian ilmu Sang Nabi Pengelana, Khidzir a.s. Daud pernah disorong kasus sederhana mengadili sengketa tentang seekor domba, pun tidak berhasil memutuskannya dengan adil. Itulah even ketika sejenak Tuhan berpaling dari hamba-Nya.

Jadi, mari kita yang serba merasa belum pasti menjadi manusia suci dan belum tentu berhasil mendekat kepada Allah, membisikkan doa ini, semoga munajat kita   melesat ke ketinggian ‘Arsy-Nya yang sempurna …

اَللّٰهُمَّ اجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْمُسْتَغْفِرِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنْ عِبَادِكَ الصَّالِحِيْنَ الْقَانِتِيْنَ، وَاجْعَلْنِيْ فِيْهِ مِنْ اَوْلِيَآئِكَ الْمُقَرَّبِيْنَ، بِرَاْفَتِكَ يَا اَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ۔

“Ya Allah, jadikan aku pribadi yang terus beristighfar, memperbaiki diri dengan bimbingan-Mu, pribadi yang shalih dan setia kepada-Mu, dan jadikan aku kekasih-Mu yang tak pernah jauh dari-Mu.”

(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan