Artikel

Tuhan Tidak Tunduk kepada Kita

Tuhan Tidak Tunduk kepada Kita

Penulis al-Hikam, Syaikh Ibnu Atha’ilah as-Sakandari membuka kitabnya dengan stanza yang penuh kearifan, “Salah satu tanda sikap bergantung pada amal adalah kurangnya harapan terhadap rahmat Allah tatkala tergelincir dalam dosa.”

Bergantung pada amal adalah sikap tercela; seperti seseorang yang yakin masuk Surga dan selamat dari Neraka karena merasa amalnya banyak, pahalanya bertumpuk, dan tidak punya dosa besar. Padahal manusia, termasuk Nabi Muhammad saw, beroleh keselamatan bukan karena amalnya, melainkan karena kasih atau rahmat dari Tuhannya.

Juga seseorang yang mengira bahwa hidupnya yang serba berkecukupan, atau urusannya yang serba lancar, juga keluarganya yang sejahtera, termasuk popularitas dan kehormatan dirinya diakui di tengah publik … itu semua adalah karena ia rajin shalat tahajud dan dhuha, baca Alquran sehari satu juz (one day one juz), zakat dan shadaqah tidak pernah telat, juga aktivitas fund raising yang ia lakukan untuk kepentingan kemanusiaan. Ini pun Tuhan tidak demen.

Dalam Riyadhu sh-Shalihin, disebut istilah “al-manan”, seseoang yang suka menyebut-nyebut kebaikannya ketika di dunia. Di Hari Kebangkitan, Tuhan tidak sudi menyambutnya dengan senyum, bahkan tidak menatapnya dengan pandangan kasih. Karena, orang itu telah lancang “menempati posisi Tuhan” dalam klaim-klaim kebaikan, yang sejatinya menjadi hak Tuhan saja!

Menurut Ibnu Atha’ilah, orang yang merasa pasti bahwa kesalahan atau keterperosokannya ke dalam dosa selalu berakibat Tuhan menghukumnya di dunia atau di akhirat, yang mengakibatkan ia pesimis dari rahmat atau kasih Tuhan … adalah juga orang yang sedang “membanggakan amal”. Ia begitu yakin bahwa Tuhan “tunduk, terikat dan wajib” memberinya punishment dalam bentuk kesusahan, sakit, bencana, kefakiran atau kehilangan.

Nabi Muhammad saw mengajari kita dalam sayyidu l-istighfar, yang jika kita baca pagi lalu kita mati sore hari, atau kita baca sore lalu mati pagi hari, dijamin kita mati dalam amnesti, atau jaminan ampunan Tuhan. Di dalamnya terdapat kalimat, “A’uudzu bika min syarri maa shana’tu, aku berlindung dari akibat keburukan yang kulakukan.” Tuhan juga mengajari kita langsung dalam Kitab Suci-Nya, “Rabbanaa laa tu-aakhidznaa in nasiinaa au akhtha-naa, Tuhan, jangan Engkau pidana kami jika kami lupa atau bersalah …”

Ramadhan ini, kita dekat dengan-Nya, dan dengan merasakan kehadiran serta keagungan-Nya, niscaya kita merasa yakin, bahwa Dia tidak tunduk pada dosa-dosa kita. Jadi, mari kita bisikkan doa ini di hadapan-Nya …

اَللّٰهُمَّ لَا تُؤَاخِذْنِيْ فِيْهِ بِالْعَثَرَاتِ، وَاَقِلْنِيْ فِيْهِ مِنَ الْخَطَايَا وَالْهَفَوَاتِ، وَلَا تَجْعَلْنِيْ فِيْهِ غَرَضًا لِلْبَلَايَا وَالْاٰفَاتِ، بِعِزَّتِكَ يَا عِزَّ الْمُسْلِمِيْنَ۔

“Ya Allah, jangan Engkau hukum aku karena aku terpeleset ke dalam dosa, maafkam aku dari kesalahan dan pelanggaran, jangan paparkan aku pada kesialan dan petaka. Dengan wibawa-Mu, wahai Kebanggaan kaum Muslimin.”

(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan