Artikel

ENGKAU BERSAMA-KU, ATAU MENJADI MUSUH-KU

“Every nation, in every region, now has a decision to make. Either you are with us, or you are with the terrorists,” demikian George W. Bush, Presiden ke-43 Amerika Serikat, berbicara di hadapan Konggres AS saat launching kampanye anti-terorisme-nya.

Yang dicoba dilakukan Bush adalah sebuah komunikasi politik, yang memojokkan siapapun kepada hanya satu dari dua pilihan, “Anda dukung saya, atau Anda musuh saya!” Wikipedia menyebut, itu lebih merupakan descriptive statement yang mewakili sikap si pembicara sekaligus asumsi dasar yang dianutnya, dan sama sekali bukan sebuah kesimpulan yang masuk di akal. Terkadang, retorika macam itu bisa diinterpretasi sebagai “upaya pemecah belah” atau “dilema palsu”, yang tentu saja layak disebut sebagai informal fallacy. Ya, suatu siasat “penggiringan” publik untuk memilih keberpihakan yang tak mengijinkan posisi netralitas.

Ketika kita merasa yakin benar dengan pilihan atau posisi kita, kita gampang tergoda untuk menganggap setiap orang yang beda pendapat atau menentang posisi kita sebagai pihak yang salah, bahkan musuh kita. Kita lupa bahwa pendapat kita sekadar salah satu saja di antara beragam gagasan yang dihasilkan oleh ribuan, jutaan, bahkan milyaran manusia yang sama-sama punya otak dan dada seperti kita. Dengan ungkapan yang lebih tandas, memaksakan pendapat dan kehendak kepada sesama manusia adalah sikap tidak manusiawi, inhuman … karena berarti kita tidak menghargai manusia seperti kita menghargai diri kita sendiri. Bahkan, kita tidak mengapresiasi Tuhan yang telah menciptakan perbedaan dan keunikan di antara pribadi-pribadi manusia!

Hanya Tuhan yang berhak menyatakan dirinya “Mahabenar” dan selain-Nya salah; “Mahabaik” dan selain-Nya buruk. Hanya ada dua pilihan bagi makhluk, ia berada di pihak Tuhan, atau ia jadi musuh-Nya. Tidak ada pihak ketiga. Dan di kehidupan setelah kebangkitan pun hanya ada dua kemungkinan tempat menetap, Surga atau Neraka. Tidak ada tempat ketiga. Lalu, bagaimana halnya dengan pendosa yang sesungguhnya tidak bermaksud memusuhi Tuhan, tetapi terjerumus ke dalam perbuatan nista? ‘Ali bin Abi Thalib memberi contoh cara “kreatif” seorang pendosa “berargumen” di hadapan Sosok yang ditakutinya, namun kerap ia bikin kecewa, “Ilahi, aku durhaka kepada-Mu bukan karena aku tidak takut, lalu berani melawan-Mu. Akan tetapi, aku terperdaya oleh kebaikan dan nikmat-Mu yang kini dan yang lalu, juga aku tak kuasa menaklukkan hawa nafsuku.”

Kita tidak ingin sampai harus “berkilah” semacam itu, tak ingin pula sampai berada di puak musuh-Nya. Caranya? Kita cintai yang Dia sukai, dan kita benci yang Dia murkai. Maka sebaiknya kita berdoa seperti ini …

اَللّٰهُمَّ حَبِّبْ اِلَيَّ فِيْهِ الْاِحْسَانَ، وَكَرِّهْ اِلَيَّ فِيْهِ الْفُسُوْقَ وَالْعِصْيَانَ، وَحَرِّمْ عَلَيَّ فِيْهِ السَّخَطَ وَالنِّيْرَانَ بِعَوْنِكَ يَا غِيَاثَ الْمُسْتَغِيْثِيْنَ۔

“Ya Allah, jadikan aku cinta kepada kebajikan, jadikan aku benci kefasikan dan kedurhakaan, haramkan atasku murka dan Neraka. Dengan pertolongan-Mu, wahai Andalan Para Peminta Pertolongan.”

(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan