Artikel

HASRAT PEMUJA SEJATI

HASRAT PEMUJA SEJATI

Pesihir-pesihir itu bertanya, “Jika kami berhasil kalahkan Musa, adakah kepastian anugerah yang bakal kami terima, Baginda?”

“Ya,” jawab Fir’aun, “kalian akan kujadikan orang-orang terdekatku.”

Janji Fir’aun itu seketika membikin para pesihir mantap untuk menumbangkan Musa. Kita tahu —to make the long story short– pada akhirnya para pengabdi Fir’aun itu takluk di bawah mu’jizat Musa, dan segera tersungkur menghempaskan dirinya bersujud di hadapan Nabi yang gagah itu. Tetapi inspirasi yang dapat kita petik adalah bahwa tidak selalu harta berlimpah, fasilitas tanpa batas, atau jabatan terhormat yang diharapkan seseorang dari sosok yang dipuja atau disembahnya … melainkan kedekatan, vicinity, qurbah. Dan itu berarti pengakuan sebagai hamba, legitimasi sebagai subordinat!

Acknowledgment, rekognisi atau pengakuan itu bukan saja menjanjikan previlese lebih dari yang lain, tetapi juga “kepercayaan” untuk selalu mengerjakan lebih banyak perintah dari Sang Junjungan. Makin banyak pekerjaan yang dibebankan sang pujaan kepadanya, ia makin tersanjung, bangga dan bahagia. Jika ada orang tua renta punya beberapa orang anak, ia akan paling banyak bikin repot dengan pernak-pernik permintaan, bahkan rengekan, kepada anak yang paling disayanginya. Dan anak yang berbakti menginginkan “previlese” itu. Dengan itu emua, ia mungkin hanya mendapat pemberian materi beberapa kepeng uang receh. Tapi itupun ia sikapi sebagai anugerah agung, apatah lagi jika ia diberi keping-keping permata!

Nabi Agung, sang penggenap barisan para utusan Tuhan, pernah meminta kepada umat dan sahabat-sahabatnya, “Laa tuthruunii … innamaa ana ‘abdun, faquuluu ‘abdullahi wa rasuuluh.” Maksudnya lebih kurang, “Kalian tidak perlu menyanjung aku berlebihan … aku hanyalah seorang hamba, maka sebutlah aku ‘hamba-Nya dan pesuruh-Nya”.  Beliau juga pernah menarasikan, “Engkau dapat mengecap manisnya keimanan, jika engkau sudah getarkan dadamu dengan tiga hal: menjadikan Allah dan Utusan-Nya lebih engkau cintai dibanding apapun juga, engkau cintai sesuatu atau seseorang karena Allah, dan engkau enggan menjamah apa saja yang Tuhan benci sebagaimana keenggananmu untuk memasuki unggun api yang menyala-nyala.”

Kedekatan juga menjadi hal pokok dalam ibadah. Para cendekia memberikan formulasi takrif (definisi) ibadah sebagai, “at-Taqarrubu ilallahi bi imtitsali awamirihi wa ijutinabi nawahihi … pendekatan diri kepada Ilahi dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi pantangan-Nya.” Seorang pengabdi tahu persis, bahwa dekat dengan Tuhan berarti dekat dengan segala yang baik, dekat juga ke surga, juga kepada kemuliaan di dunia ini dan di kehidupan sesudahnya. Ia pun tahu, bahwa untuk menjaga kedekatan itu, Tuhan memberinya berbagai penugasan, termasuk penugasan untuk menjauhi keburukan atau ketidakadilan, bahkan penugasan untuk menjalani derita atau ujian. Itu semua bukan untuk bikin Tuhan puas atau sejahtera, melainkan, ia yakin, untuk kepentingan dirinya sebagai hamba.

 Maka sungguh relevan doa Ramadhan berikut ini, doa hari ke-4:

اَللّٰهُمَّ قَوِّنِيْ فِيْهِ عَلٰى اِقَامَةِ اَمْرِكَ، وَاَذِقْنِيْ فِيْهِ حَلَاوَةَ ذِكْرِكَ، وَاَوْزِعْنِيْ فِيْهِ لِاَدَاۤءِ شُكْرِكَ بِكَرَمِكَ، وَاحْفَظْنِيْ فِيْهِ بِحِفْظِكَ وَسَتْرِكَ، يَا اَبْصَرَ النَّاظِرِيْنَ۔

“Ya Allah, kuatkan aku hari ini untuk menunaikan perintah-Mu, izinkan aku rasakan manisnya dzikir kepada-Mu, bimbing aku untuk mensyukuri kedermawanan-Mu, jaga aku dengan naungan dan lindungan-Mu, wahai Sang Penatap Yang Mahaawas.”

(Djarot Margiantoro)

HASRAT PEMUJA SEJATI

Pesihir-pesihir itu bertanya, “Jika kami berhasil kalahkan Musa, adakah kepastian anugerah yang bakal kami terima, Baginda?”

“Ya,” jawab Fir’aun, “kalian akan kujadikan orang-orang terdekatku.”

Janji Fir’aun itu seketika membikin para pesihir mantap untuk menumbangkan Musa. Kita tahu —to make the long story short– pada akhirnya para pengabdi Fir’aun itu takluk di bawah mu’jizat Musa, dan segera tersungkur menghempaskan dirinya bersujud di hadapan Nabi yang gagah itu. Tetapi inspirasi yang dapat kita petik adalah bahwa tidak selalu harta berlimpah, fasilitas tanpa batas, atau jabatan terhormat yang diharapkan seseorang dari sosok yang dipuja atau disembahnya … melainkan kedekatan, vicinity, qurbah. Dan itu berarti pengakuan sebagai hamba, legitimasi sebagai subordinat!

Acknowledgment, rekognisi atau pengakuan itu bukan saja menjanjikan previlese lebih dari yang lain, tetapi juga “kepercayaan” untuk selalu mengerjakan lebih banyak perintah dari Sang Junjungan. Makin banyak pekerjaan yang dibebankan sang pujaan kepadanya, ia makin tersanjung, bangga dan bahagia. Jika ada orang tua renta punya beberapa orang anak, ia akan paling banyak bikin repot dengan pernak-pernik permintaan, bahkan rengekan, kepada anak yang paling disayanginya. Dan anak yang berbakti menginginkan “previlese” itu. Dengan itu emua, ia mungkin hanya mendapat pemberian materi beberapa kepeng uang receh. Tapi itupun ia sikapi sebagai anugerah agung, apatah lagi jika ia diberi keping-keping permata!

Nabi Agung, sang penggenap barisan para utusan Tuhan, pernah meminta kepada umat dan sahabat-sahabatnya, “Laa tuthruunii … innamaa ana ‘abdun, faquuluu ‘abdullahi wa rasuuluh.” Maksudnya lebih kurang, “Kalian tidak perlu menyanjung aku berlebihan … aku hanyalah seorang hamba, maka sebutlah aku ‘hamba-Nya dan pesuruh-Nya”.  Beliau juga pernah menarasikan, “Engkau dapat mengecap manisnya keimanan, jika engkau sudah getarkan dadamu dengan tiga hal: menjadikan Allah dan Utusan-Nya lebih engkau cintai dibanding apapun juga, engkau cintai sesuatu atau seseorang karena Allah, dan engkau enggan menjamah apa saja yang Tuhan benci sebagaimana keenggananmu untuk memasuki unggun api yang menyala-nyala.”

Kedekatan juga menjadi hal pokok dalam ibadah. Para cendekia memberikan formulasi takrif (definisi) ibadah sebagai, “at-Taqarrubu ilallahi bi imtitsali awamirihi wa ijutinabi nawahihi … pendekatan diri kepada Ilahi dengan mematuhi perintah-Nya dan menjauhi pantangan-Nya.” Seorang pengabdi tahu persis, bahwa dekat dengan Tuhan berarti dekat dengan segala yang baik, dekat juga ke surga, juga kepada kemuliaan di dunia ini dan di kehidupan sesudahnya. Ia pun tahu, bahwa untuk menjaga kedekatan itu, Tuhan memberinya berbagai penugasan, termasuk penugasan untuk menjauhi keburukan atau ketidakadilan, bahkan penugasan untuk menjalani derita atau ujian. Itu semua bukan untuk bikin Tuhan puas atau sejahtera, melainkan, ia yakin, untuk kepentingan dirinya sebagai hamba.

 Maka sungguh relevan doa Ramadhan berikut ini, doa hari ke-4:

اَللّٰهُمَّ قَوِّنِيْ فِيْهِ عَلٰى اِقَامَةِ اَمْرِكَ، وَاَذِقْنِيْ فِيْهِ حَلَاوَةَ ذِكْرِكَ، وَاَوْزِعْنِيْ فِيْهِ لِاَدَاۤءِ شُكْرِكَ بِكَرَمِكَ، وَاحْفَظْنِيْ فِيْهِ بِحِفْظِكَ وَسَتْرِكَ، يَا اَبْصَرَ النَّاظِرِيْنَ۔

“Ya Allah, kuatkan aku hari ini untuk menunaikan perintah-Mu, izinkan aku rasakan manisnya dzikir kepada-Mu, bimbing aku untuk mensyukuri kedermawanan-Mu, jaga aku dengan naungan dan lindungan-Mu, wahai Sang Penatap Yang Mahaawas.”

(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan