Artikel

KINERJA PRIMA

“Aku tugaskan kepada Ibrahim dan Ismail merawat rumah-Ku agar orang-orang bisa berthawaf, beri’tikaf, ruku’ dan sujud kepada-Ku …” Tetapi yang dikerjakan dua ayah beranak itu lebih dari yang dimandatkan Allah. Bukan sekadar merawat Bait Allah, keduanya membikin struktur yang lebih tinggi dan megah guna menempatkan Batu Surga pada posisi yang lebih mulia. Dan hasil kerja yang sudah sangat prima itu dipersembahkan kepada Ilahi dengan penuh kerendahan hati, sikap harap dan cemas, kiranya Tuhan berkenan menerimanya, memberikan titah koreksi-Nya, bahkan keduanya siap dipersalahkan jika tidak berhasil membikin Tuhan puas dengan kinerja kehambaannya. Keduanya menghiba, “Rabbana taqabbal minna … wa arina manasikana, wa tub ‘alaina ….”  (Baqarah:128).

Laku kebajikan pada umumnya diawali dengan prakarsa luhur, kerja benar lagi bagus menurut legalitas, etika dan estetika, lalu berakhir dengan sikap rendah hati, tidak jumawa. Pertemuan ahli kebajikan diawali dengan pujian kepada Tuhan, berlangsung dengan penuh kesahajaan dan keluhuran, dan diakhiri dengan memuji Tuhan lagi, atau doa kafarat majelis.

Sifat atau kualitas tertinggi kebajikan adalah ihsan, yang bermakna keindahan atau keanggunan, estetika atau elegansi. Amal bukan saja harus memenuhi tuntutan kewajiban, kepatutan, serta kemanfaatan, tetapi juga musti dapat menciptakan harmoni dengan unsur-unsur kehidupan di luar diri seorang hamba. Bukankah Nabi Suci menegaskan, “Allah perintahkan berlaku ihsan dalam segala sesuatu. Jika engkau nembnnuh, bunuhlah dengan ihsan. Jika menyembelih, sembelihlah secara ihsan, yaitu dengan menajamkan golok serta menjaga hewan tetap tenteram dan sejahtera.” (Narasi dari Imam Muslim).

Ihsan tentu tidak akan terjadi pada tindak maksiat, munkar, durjana, atau durhaka. Seperti pesta miras, gelar perjudian, aksi prodigal-ekstravagansa atau ajang tindak asusila dan asosial lainnya: awal, tengah, hingga akhir … totalitas buruk!

Di Ramadhan ini, kita tunaikan puasa hari demi hari, dirikan sembahyang dan kerjakan ibadah atau manasik tambahan (tathawu’, nafilah). Kita lakukan semuanya dengan sebaik yang kita mampu. Tapi kita sadar, kemampuan kita terbatas, dan upaya kita “menebak” kinerja macam apa yang disukai Tuhan selalu berujung dengan keraguan, benarkah yang kita persembahkan ke haribaan-Nya berhasil membikin-Nya tersenyum girang?

Maka … seperti Ibrahim dan Isma’il, kita bisa “menyempurnakan” kinerja amal kita dengan berdoa, dengan pilihan sintaks seperti berikut ini …

اَللّٰهُمَّ اَعِنِّي فِيْهِ عَلٰى صِيَامِهِ وَقِيَامِهِ، وَجَنِّبْنِي فِيْهِ مِنْ هَفَوَاتِهِ وَاٰثَامِهِ، وَارْزُقْنِيْ فِيْهِ ذِكْرَكَ بِدَوَامِهِ، بِتَوْفِيْقِكَ يَا هَادِيَ الْمُضِلِّيْنَ۔

“Ya Allah, tolong aku menyempurnakan puasa dan shalatku di bulan Ramadhan. Jauhkan aku dari tergelincir hati dan dosa. Karuniai aku nikmat dzikir sepanjang waktu. Dengan taufik-Mu, wahai Penyelamat jiwa-jiwa yang sesat.”

(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan