Artikel

Puasa dan Tapa Ngrame

Puasa dan Tanpa Ngrame

Puasa itu laku sepi, sunyi, diam, bahkan terkesan “dirahasiakan” dalam pelaksanaan ritusnya. Namun berbeda dari bertapa di mana sang pertapa secara literer masuk dalam kesendirian dan hanyut dalam kesenyapan sasana dan lingkungan, puasa dilakukan seorang Muslim di tengah hiruk pikuk kehidupan, bersenyawa dengan aktivitas keseharian, menelusup di kesibukan kerja, transaksi dagang, negosiasi politik, even-even sosial budaya, dan tak terpisahkan dari sendi-sendi kehidupan insani. Puasa yang dalam terminologi ajaran Islam disebut shiyam atau shaum, juga berbeda dari ritus shalat dan hajji/’umrah. Shalat dan hajji/’umrah dilakukan sempurna dengan cara mengisolasi diri dari lingkungan beserta hiruk pikuknya. Sebaliknya, puasa tidak demikian. Puasa itu bertapa di tengah ramai. Oleh karenanya, padanan yang cukup dekat dengan substansi ibadah puasa barangkali adalah “tapa ngrame”.
Puasa itu imsak ‘an, ritual menahan diri. Dari apa? Secara fisik dari makan, minum, dan pemuasan libido, dan dari perbuatan sengaja yang memenuhi substansi ketiganya, dari fajar shadiq menyingsing (waktu shubuh) hingga mentari meninggalkan cakrawala, tenggelam di ufuk barat (waktu maghrib). Namun Tuhan dan Utusan Suci-Nya menghendaki lebih dari itu. Sha-imun (orang yang sedang berpuasa) juga musti menihilkan dari jiwanya perkataan dan perbuatan dusta, menggunjingkan keburukan saudaranya, membikin atau menebar berita bohong, sumpah palsu (bohong sekaligus membawa-bawa nama Tuhan dan agama), dan memanjakan penglihatan-nya menatap objek-objek erotis.
Sha-imun juga diharapkan meninggalkan kesia-siaan, yaitu kata dan perbuatan yang tidak memberi niilai tambah keimanan, kebajikan, dan keterpeliharaan hubungan kekerabatan atau relasi sosial secra positif.
Bukan itu saja, orang yang berpuasa juga seharusnya mengisi “kehampaan” yang semula terisi oleh perbuatan sia-sia atau tak terpuji dengan rangkaian perilaku baik tanpa henti, terutama yang membawa maslahat bagi keluarga, orang lain, dan makhluk lain.
Agaknya dengan cara semacam itu, puasa kita tidak akan jatuh pada status “sekedar peragaan puasa”, pun ibadah terutama amal ritual di dalamnya tidak jadi “sekedar peragaan shalat”, melainkan puasa dan shalat dalam kesejatian, yang akan memberi dampak berupa kesucian diri, sekaligus kebajikan bagi sesama, karena sifat-sifat agresif dan ekstrem pada sha-im jadi terkendali, terminimasi, atau tersenyapkan.
Dan doa berikut ini, kiranya dapat kita amalkan, walaupun sekedar membaca teksnya, satu kali, hari ini…. Ya hari ini, hari pertama puasa Ramadhan.
اَللّٰهُمَّ اجْعَلْ صِيَامِيْ فِيْهِ صِيَامَ الصَّآئِمِيْنَ، وَقِيَامِيْ فِيْهِ قِيَامَ الْقَآئِمِيْنَ، وَنَبِّهْنِيْ فِيْهِ عَنْ نَوْمَةِ الْغَافِلِيْنَ، وَهَبْ لِىْ جُرْمِيْ فِيْهِ يَا اِلـٰهَ الْعَالَمِيْنَ، وَاعْفُ عَنِّي يَا عَافِيًا عَنِ الْمُجْرِمِيْنَ۔
“Ya Allah, jadikan puasaku hari ini puasa para ahli puasa. Jadikan shalatku hari ini shalat para ahli shalat. Cegahlah aku dari tidur, tidurnya orang2 yang lalai. Maafkah tiap salah dosaku hari ini, Wahai Sang Maha Pemaaf atas sekalian pendosa.”
(Djarot Margiantoro)

Tinggalkan Balasan